Kamis, 10 Maret 2011

buat mira ;) hapalin yaa mir


1) Samsul Bahri sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis), anak Sultan Mahmud Syah (penghulu di Padang),        seorang lelaki yg pandai, tingkah lakunya sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
2) Siti Nurbaya sebagai pelaku utama (Tokoh Protagonis), anak Baginda Sulaeman (saudagar kaya di Padang), oseorang gadis yg lemah lembut, penyayang, tutur bahasanya halus, sopan dan santun, baik hati, setia kawan, patuh terhadap orang tua.
3) Datuk Maringgih sebagai pelaku utama (Tokoh Antagonis), laki-laki yang berwatak kikir, picik, penghasut, kejam, sombong, bengis, mata keranjang, penipu, egois, dan selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
4) Sultan Mahmud Syah sebagai pelaku tambahan (Toloh Protagonis), Ayahnya Samsul Bahri yang berwatak Bijaksana, sopan, ramah, adil, dan penyayang.
5) Siti Maryam sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis),berwatak bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
6) Baginda Sulaeman sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), berwatak bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
7) Zainularifin sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang bertingkahlaku sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
8) Bakhtiar sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), temannya Samsul Bahri yang bertingkahlaku sopan dan santun, halus budi bahasanya, dapat dipercaya, gigih, penyayang, dan setiakawan.
9) Alimah sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis), saudaranya Siti Nurbaya yang bewatak lemah lembut, santun setiakawan, bijaksana.
10) Pak Ali sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis).
11) Pendekar Tiga sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
12) Pendekar Empat sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
13) Penekar Lima sebagai pelaku tambahan (Tokoh Antagonis)
14) Dokter sebagai pelaku tambahan (Tokoh Protagonis)

 Latar atau Seting ini terdiri atas dua bagian yaitu latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dalam novel “Siti Nurbaya” diantaranya di sekolah, di kota Padang, di kota Jakarta, di Kebun Kelapa, di rumah, di halaman rumah, di kantor pos, dikapal dan lain-lain. Latar waktu: sekitar tahun 1920-an.

buat alfian HAPALIN

Novel “Siti Nurbaya” ini bertemakan sosial, moral, dan egois. Tema yang terkandung dalam novel ini yaitu “Satu percintaan antara dua remaja yang tidak dapat berakhir dengan pernikahan karena penghianatan seseorang yang hanya mementingkan kekayaan dunia dan hawa nafsu.

buat haris HAPALIN


1. Adat, Kebiasaan :                                                                                                                         
-  Melakukan perjodohan dengan adanya unsure paksaan dari orangtua                        
- Renternir yg bengis dan menagih dengan cara memaksa dan kekerasan
2.Etika, Moral :
         - Patuh pada orangtua dengan menuruti semua kehendak orangtuanya walaupun semua itu bertolak belakang dengan keinginannya
         - Sebuah kasih yg tak sampai terus menimbulkan sebuah penderitaan batin

buat nadila :) hapalin yang dibold yaa nad


Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan istrinya Siti Mariam mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama dua orang temannya, yakni Zainularifin dan Bahtiar. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Dan sejak itulah mereka membuat perjanjian akan sehidup semati.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkan.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah. Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Mereka tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena mereka tak tahan menahan rindunya maka mereka pun berciuman. Pada saat itulah terjadi percekcokan antara Datuk Maringgih dengan Syamsul Bahri, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindar, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih, maka pada saat itu keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris. Melihat Pendekar Lima membawa keris, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu, Tetapi karena kurang hati-hati, Baginda Sulaeman terperosok dan lalu jatuh, sehingga seketika itu Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, Syamsul Bahri langsung menghindar, dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, terlihat pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya dimana-mana, maka dengan sedihnya pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang, karena akibat rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakitan.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih, Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedangkan Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, ia pun segera menyeret Siti Nurbaya dan hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi ia pun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan lemah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih. Ia pun meminta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbaya dengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah.
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenazah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya ini diberitahukan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Disuatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum Datuk Maringgih meninggal masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas meminta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah. Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar yang telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter.

buat dinda :) hapalin yang dibold yaa din


Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan istrinya Siti Mariam mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama dua orang temannya, yakni Zainularifin dan Bahtiar. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Dan sejak itulah mereka membuat perjanjian akan sehidup semati.
Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta bersama Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkan.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah. Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Mereka tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena mereka tak tahan menahan rindunya maka mereka pun berciuman. Pada saat itulah terjadi percekcokan antara Datuk Maringgih dengan Syamsul Bahri, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindar, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih, maka pada saat itu keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris. Melihat Pendekar Lima membawa keris, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu, Tetapi karena kurang hati-hati, Baginda Sulaeman terperosok dan lalu jatuh, sehingga seketika itu Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, Syamsul Bahri langsung menghindar, dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, terlihat pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan matang-matang terlebih dahulu, pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya dimana-mana, maka dengan sedihnya pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang, karena akibat rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakitan.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih, Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedangkan Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, ia pun segera menyeret Siti Nurbaya dan hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi ia pun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketahuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan lemah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih. Ia pun meminta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelum kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbaya dengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah.
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenazah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya ini diberitahukan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin dengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia mengikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Disuatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, maka dalam waktu sepuluh tahun pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum Datuk Maringgih meninggal masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas meminta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dimakamkanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah. Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar yang telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter.

Rabu, 16 Februari 2011

Cerpen ♥

Cinta yang Tak Terjawab (́_̀)

Pertama kali aku memandang wajahnya ada sesuatu yang kurasakan pada detik itu. Entahlah aku sendiri pun tidak tau pasti apa yang kurasakan. Namun di waktu ku memandangnya ada perasaan yang sukar untuk diungkapkan.
Di suatu hari ku lihat ia tersenyum kearahku saat itu aku tak percaya apa yang dilakukannya tadi terhadapku, ku kira itu hanya halusinasiku sesaat karena sudah beberapa hari dipikiranku hanya dirinya. Ku lihat disekitarku hanya aku yang berada disana jadi memang benar ia tersenyum padaku, yaa saat itu pun aku sangat senang tapi ku hanya menganggap itu sebuah senyuman perkenalan. Aku membalas senyuman yang belum benar - benar pasti ia tunjukan padaku, jika aku tak berbuat demikian nanti aku dikatakan seorang yang sombong. Aku masih tidak puas memandang raut wajahnya, dalam hati ku berkata “ya allah betapa cantiknya gadis itu, rambutnya yang terurai panjang kulitnya yang bersih putih dan sikapnya yang ramah tamah meyakinkan hatiku bahwa aku benar - benar menyukainya, terima kasih ya allah kau telah pertemukanku dengannya.”
Pada waktu yang bersamaan aku tak bisa kedipkan mata ketika seketika ia dihadapanku. Tetap senyumannya yang menawan yang ia tampakan padaku. Jantungku kian berdebar, aku berpikaran untuk tidak menyia - nyiakan kesempatan ini. Aku berencana untuk berkenalaan dan mengetahui namanya. Perkenalan itu membuat kami semakin akrab dan bersahabat. Kami memang akrab sebagai seorang sahabat, namun didalam hati ini bukan hanya sekedar seorang sahabat tetapi ingin lebih dari seorang sahabat. Aku mencintainya, yaa aku tidak menafikan perasaanku saat ini, malah bukan saat ini saja tetapi kali pertama aku memandangnya. Namun rasa kasih ini tak berani ku luahkan, hanya diangin lalu. Bukan aku takut untuk meluahkannya tetapi aku lebih takut untuk kehilangannya.
Hari – hari yang ku lalui tanpanya selalu sesak dengan rinduku padanya, sehari ku tak bisa melihat wajahnya ku gelisah yang tak menentu. Malam hari pun aku sulit untuk mengejamkan mata, hanya bayangan wajahnyalah yang muncul. Hampir dua minggu aku tak bersua dengannya, rindu tak tertanggung rasanya.
Kasih kian membuak, seketika aku melihatnya aku pun berlari mendekatinya, aku pun langsung bertekad untuk mengungkapan perasaan hati ku padanya.
“Revi… Revi… tunggu… !” teriakku seakan menyuruhnya berhenti.
Ia berpaling dan bingung sendiri melihat tingkahku yang penuh semangat dan aneh. Aku berdiri disampingnya dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Waktu itu kira - kira 10 menit lagi pukul tujuh. Kami duduk diserambi kelas tanpa berbicara sedikit pun. Aku hanya memandang wajahnya yang bersih, cantik, dan bercahaya. Aku begitu menyayangimu, kataku dalam benakku. Tapi, aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.
            “Hi… pagi - pagi gini kok udah ngelamun ?”
            “Nggak…nggak ada apa - apa kok…?
            “Rev, nanti siang kita pulang bareng bolehkan ?” kataku  dengan penuh keragu - raguan.
Ia hanya membalas dengan senyuman. Aku tertegun seketika, berarti ia setuju.
            Teng…teng…teng…, lonceng sekolah berbunyi. Aku masuk ke kelas dan duduk di bangku paling depan. Sejak awal aku tahu mengapa hatiku selalu gelisah. Aku terus membayangkan apa yang akan terjadi. Mengapa aku tak berani mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Sampai kapan aku harus menahan gejolak hati ini. Aku tak bisa terus begini. Aku tahu dia juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.
            Sesekali kupandang ke depan. Seorang guru yang bagaikan buldoser terlihat sedang menerangkan pelajaran yang terlalu sulit kupahami. Ia hanya menambah beban hidupku. Pelajarannya begitu membosankan, monoton dan sulit kupahami. Aku hanya bisa duduk manis dengan pandangan terarah ke depan. Aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaannya. Seketika itu pula terlintas bayangan wajahnya. Aku begitu merindukannya. Aku tak bisa lagi menahan gejolak cinta yang membuatku gelisah. Aku begitu takut kehilangan dirinya. Lamunanku terus berlanjut hingga bel pulang berbunyi. Aku pun langsung menemui Revi di kelasnya.
            “Rev, jadikan pulang bareng ?” kataku dengan penuh keraguan.
Ia hanya membalasnya dengan senyuman. Kami pun mulai menyelusuri jalan kecil beraspal tanpa berbicara sedikit pun. Mungkin rasa malu masih menghantui pikiran kami. Hingga langkah kami pun terhenti di sebuah pohon beringin. Pohon itu memberikan suasana sejuk bagi kami berdua. Kami duduk berdekatan tepat di dekat pangkal pohon itu. Di sini aku mulai memecahkan kesunyian dan bertanya,
            “Bagaimana pelajaranmu di sekolah ?”
            Aku tak tahu apa yang hendak aku katakan. Ini adalah pengalaman pertamaku mengajak seorang gadis. Kemudian ia menjawab dengan penuh keramahan.
            “Biasa - biasa saja, sama seperti hari sebelumnya”.
            “Ooo” jawabku.
            Hatiku mulai tidak tenang. Perasaanku sangat takut. Hati kecilku berkata,
   “Aku takut kehilangan dirinya”.
Tapi perasaanku itu kuabaikan begitu saja. Waktu itu kira - kira pukul 12.30. Aku mulai mengutarakan seluruh isi hatiku padanya. Ia hanya tertegun melihat wajahku yang bimbang dan penuh harapan. Aku mulai meraih tangannya dan berkata,
            “Rev, aku sangat menyayangimu, maukah kamu jadi pacarku ?”
            Ia menjadi bertambah bingung dengan sikapku pada saat itu. Aku memandang wajahnya dengan penuh harapan. Ia kelihatan bingung mempertimbangkan apa yang harus ia katakan padaku. Aku yakin bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tapi, ia hanya malu mengutarakannya.
    “Aku belum bisa menjawabnya sekarang, beri aku waktu 2  
hari untuk memikirkannya matang-matang”, katanya dengan penuh pertimbangan.
            Aku hanya mengiakan perkataannya. Kami pun pulang menyelusuri jalan yang mulai agak ramai dangan kendaraan. Ia kelihatan melamun memikirkan sesuatu. Ia tidak lagi memperdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika hendak menyeberangi jalan tiba - tiba sebuah mobil sedan datang dari arah kanannya dan menyambut tubuhnya. Sambarannya sangat dahsyat, hingga tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Semuanya menjadi kalang kabut. Aku tidak peduli lagi sendu yang terjadi di antara kekacauan. Aku berlari menghampirinya yang penuh berlumuran darah.
            “Bertahanlah Rev… kamu pasti selamat aku yakin itu, aku tidak mau kehilanganmu Rev ayolah bangun Revi bangunlah sayang”
Aku memangku tubuhnya dan berharap ia akan bertahan. Tetapi semua terjadi begitu cepat, tubuhnya membujur kaku menunjukkan ketidakberdayaannya. Tanpa kusadari genangan air mata mengucur deras. Semua terasa pedih dan menyakitkan. Aku sangat menyesal membiarkan dirinya pergi sendiri. Aku merasa diriku sangat egois. Semuanya kini telah terjadi. Kini ia pergi meninggalkan aku dalam kesendirian. Nasib begitu kejam menghancurkan kebahagian yang baru akan ku mulai.
          Jika kulalui jalan setapak itu, harum semerbak bunga melati yang tersentuh embun pagi menelusuk hidungku. Kapling - kapling kehancuran hati mulai terpendam dalam keheningan. Semuanya telah terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
            Semua tak akan mengerti. Semua kebahagianku kini hanya kenangan. Kerikil - kerikil tajam harus ku tempuh untuk mencapai tujuanku. Dalam perjalanan langkahku terhentak di sebuah pohon beringin yang rindang. Pohon itu kelihatan tenang menyimpan sejuta kenangan. Ia hanya menjadi saksi bisu atas pahitnya penderitaanku. Di bawah pohon itu aku duduk dan mengenang semua kejadian yang menggilas hidupku.