Rabu, 16 Februari 2011

Cerpen ♥

Cinta yang Tak Terjawab (́_̀)

Pertama kali aku memandang wajahnya ada sesuatu yang kurasakan pada detik itu. Entahlah aku sendiri pun tidak tau pasti apa yang kurasakan. Namun di waktu ku memandangnya ada perasaan yang sukar untuk diungkapkan.
Di suatu hari ku lihat ia tersenyum kearahku saat itu aku tak percaya apa yang dilakukannya tadi terhadapku, ku kira itu hanya halusinasiku sesaat karena sudah beberapa hari dipikiranku hanya dirinya. Ku lihat disekitarku hanya aku yang berada disana jadi memang benar ia tersenyum padaku, yaa saat itu pun aku sangat senang tapi ku hanya menganggap itu sebuah senyuman perkenalan. Aku membalas senyuman yang belum benar - benar pasti ia tunjukan padaku, jika aku tak berbuat demikian nanti aku dikatakan seorang yang sombong. Aku masih tidak puas memandang raut wajahnya, dalam hati ku berkata “ya allah betapa cantiknya gadis itu, rambutnya yang terurai panjang kulitnya yang bersih putih dan sikapnya yang ramah tamah meyakinkan hatiku bahwa aku benar - benar menyukainya, terima kasih ya allah kau telah pertemukanku dengannya.”
Pada waktu yang bersamaan aku tak bisa kedipkan mata ketika seketika ia dihadapanku. Tetap senyumannya yang menawan yang ia tampakan padaku. Jantungku kian berdebar, aku berpikaran untuk tidak menyia - nyiakan kesempatan ini. Aku berencana untuk berkenalaan dan mengetahui namanya. Perkenalan itu membuat kami semakin akrab dan bersahabat. Kami memang akrab sebagai seorang sahabat, namun didalam hati ini bukan hanya sekedar seorang sahabat tetapi ingin lebih dari seorang sahabat. Aku mencintainya, yaa aku tidak menafikan perasaanku saat ini, malah bukan saat ini saja tetapi kali pertama aku memandangnya. Namun rasa kasih ini tak berani ku luahkan, hanya diangin lalu. Bukan aku takut untuk meluahkannya tetapi aku lebih takut untuk kehilangannya.
Hari – hari yang ku lalui tanpanya selalu sesak dengan rinduku padanya, sehari ku tak bisa melihat wajahnya ku gelisah yang tak menentu. Malam hari pun aku sulit untuk mengejamkan mata, hanya bayangan wajahnyalah yang muncul. Hampir dua minggu aku tak bersua dengannya, rindu tak tertanggung rasanya.
Kasih kian membuak, seketika aku melihatnya aku pun berlari mendekatinya, aku pun langsung bertekad untuk mengungkapan perasaan hati ku padanya.
“Revi… Revi… tunggu… !” teriakku seakan menyuruhnya berhenti.
Ia berpaling dan bingung sendiri melihat tingkahku yang penuh semangat dan aneh. Aku berdiri disampingnya dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Waktu itu kira - kira 10 menit lagi pukul tujuh. Kami duduk diserambi kelas tanpa berbicara sedikit pun. Aku hanya memandang wajahnya yang bersih, cantik, dan bercahaya. Aku begitu menyayangimu, kataku dalam benakku. Tapi, aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya.
            “Hi… pagi - pagi gini kok udah ngelamun ?”
            “Nggak…nggak ada apa - apa kok…?
            “Rev, nanti siang kita pulang bareng bolehkan ?” kataku  dengan penuh keragu - raguan.
Ia hanya membalas dengan senyuman. Aku tertegun seketika, berarti ia setuju.
            Teng…teng…teng…, lonceng sekolah berbunyi. Aku masuk ke kelas dan duduk di bangku paling depan. Sejak awal aku tahu mengapa hatiku selalu gelisah. Aku terus membayangkan apa yang akan terjadi. Mengapa aku tak berani mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Sampai kapan aku harus menahan gejolak hati ini. Aku tak bisa terus begini. Aku tahu dia juga memiliki perasaan yang sama terhadapku.
            Sesekali kupandang ke depan. Seorang guru yang bagaikan buldoser terlihat sedang menerangkan pelajaran yang terlalu sulit kupahami. Ia hanya menambah beban hidupku. Pelajarannya begitu membosankan, monoton dan sulit kupahami. Aku hanya bisa duduk manis dengan pandangan terarah ke depan. Aku tak bisa konsentrasi dengan pelajaannya. Seketika itu pula terlintas bayangan wajahnya. Aku begitu merindukannya. Aku tak bisa lagi menahan gejolak cinta yang membuatku gelisah. Aku begitu takut kehilangan dirinya. Lamunanku terus berlanjut hingga bel pulang berbunyi. Aku pun langsung menemui Revi di kelasnya.
            “Rev, jadikan pulang bareng ?” kataku dengan penuh keraguan.
Ia hanya membalasnya dengan senyuman. Kami pun mulai menyelusuri jalan kecil beraspal tanpa berbicara sedikit pun. Mungkin rasa malu masih menghantui pikiran kami. Hingga langkah kami pun terhenti di sebuah pohon beringin. Pohon itu memberikan suasana sejuk bagi kami berdua. Kami duduk berdekatan tepat di dekat pangkal pohon itu. Di sini aku mulai memecahkan kesunyian dan bertanya,
            “Bagaimana pelajaranmu di sekolah ?”
            Aku tak tahu apa yang hendak aku katakan. Ini adalah pengalaman pertamaku mengajak seorang gadis. Kemudian ia menjawab dengan penuh keramahan.
            “Biasa - biasa saja, sama seperti hari sebelumnya”.
            “Ooo” jawabku.
            Hatiku mulai tidak tenang. Perasaanku sangat takut. Hati kecilku berkata,
   “Aku takut kehilangan dirinya”.
Tapi perasaanku itu kuabaikan begitu saja. Waktu itu kira - kira pukul 12.30. Aku mulai mengutarakan seluruh isi hatiku padanya. Ia hanya tertegun melihat wajahku yang bimbang dan penuh harapan. Aku mulai meraih tangannya dan berkata,
            “Rev, aku sangat menyayangimu, maukah kamu jadi pacarku ?”
            Ia menjadi bertambah bingung dengan sikapku pada saat itu. Aku memandang wajahnya dengan penuh harapan. Ia kelihatan bingung mempertimbangkan apa yang harus ia katakan padaku. Aku yakin bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tapi, ia hanya malu mengutarakannya.
    “Aku belum bisa menjawabnya sekarang, beri aku waktu 2  
hari untuk memikirkannya matang-matang”, katanya dengan penuh pertimbangan.
            Aku hanya mengiakan perkataannya. Kami pun pulang menyelusuri jalan yang mulai agak ramai dangan kendaraan. Ia kelihatan melamun memikirkan sesuatu. Ia tidak lagi memperdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika hendak menyeberangi jalan tiba - tiba sebuah mobil sedan datang dari arah kanannya dan menyambut tubuhnya. Sambarannya sangat dahsyat, hingga tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Semuanya menjadi kalang kabut. Aku tidak peduli lagi sendu yang terjadi di antara kekacauan. Aku berlari menghampirinya yang penuh berlumuran darah.
            “Bertahanlah Rev… kamu pasti selamat aku yakin itu, aku tidak mau kehilanganmu Rev ayolah bangun Revi bangunlah sayang”
Aku memangku tubuhnya dan berharap ia akan bertahan. Tetapi semua terjadi begitu cepat, tubuhnya membujur kaku menunjukkan ketidakberdayaannya. Tanpa kusadari genangan air mata mengucur deras. Semua terasa pedih dan menyakitkan. Aku sangat menyesal membiarkan dirinya pergi sendiri. Aku merasa diriku sangat egois. Semuanya kini telah terjadi. Kini ia pergi meninggalkan aku dalam kesendirian. Nasib begitu kejam menghancurkan kebahagian yang baru akan ku mulai.
          Jika kulalui jalan setapak itu, harum semerbak bunga melati yang tersentuh embun pagi menelusuk hidungku. Kapling - kapling kehancuran hati mulai terpendam dalam keheningan. Semuanya telah terjadi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi.
            Semua tak akan mengerti. Semua kebahagianku kini hanya kenangan. Kerikil - kerikil tajam harus ku tempuh untuk mencapai tujuanku. Dalam perjalanan langkahku terhentak di sebuah pohon beringin yang rindang. Pohon itu kelihatan tenang menyimpan sejuta kenangan. Ia hanya menjadi saksi bisu atas pahitnya penderitaanku. Di bawah pohon itu aku duduk dan mengenang semua kejadian yang menggilas hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar